Kamis, 30 Agustus 2012

Nekat VS Ragu


Saya dulu punya keinginan, yakni naik kereta api. Jangan tertawa, ini sederhana, tapi takkan terjangkau oleh saya yang lahir, sekolah dasar, sampai SMA berdomisili di DTS (desa terpencil sekali). Jadi, kereta api adalah moda transportasi yang sangat-sangat mustahil untuk dijalankan di daerah saya yang rute jalannya hampir menyerupai lintasan roller coaster. Terpaksa, di usia yang sudah di atas sweet-seventeen barulah saya berhasil menginjakkan kaki di atas gerbong kereta api. 
Betapa kikuknya saat itu pertama kali masuk stasiun kota di Surabaya. Saya mau ke Banyuwangi untuk yang pertama kali sekaligus perjalanan pertama naik kereta api. Begitu hebohnya saya, sampai saya jelajah ke gerbong eksekutif (mumpung kereta masih kosong dan belum berangkat, dan Stasiun Kota merupakan salah satu stasiun ‘garasi’-nya kereta api di Surabaya). Maka, saat melaju, saat itulah saya merasakan sensasi pertama melihat pemandangan perjalanan ke Banyuwangi yang menurut saya apik sekaligus asik karena tiba-tiba lampu gerbong menyala (padahal ini siang hari) dan sejenak kemudian tiba-tiba pemandangan di luar menjadi gelap tidak terlihat apa-apa. Olala, ternyata barusan melewati terowongan. Wah, dalam hati saya makin heboh, hehe!
Sesudah itu, saya sudah biasa naik kereta api. Saat saya ngikut ke rumah teman di Bojonegoro, saya naik KRD. Dalam hati saya mencoba menebak singkatan KRD, bukannya kereta api itu KA, nah kok ini KRD. ‘Kereta Rakjat Djelata’, begitu teman saya memberitahu. Oooooo. Lain kesempatan, saya malah sudah tahu ada komuter. Ah, derita anak desa yang tak mengenal dunia per-kereta api-an, haha.
Suatu siang di kota Kediri saya tiba-tiba bilang pada teman saya. Saya memutuskan ke Surabaya naik kereta api Doho. Dia tergesa-gesa mengantar saya ke stasiun karena masalahnya jadwal berangkat kereta pukul 2 siang. Saya ketar-ketir melihat jam, ‘kurang sepuluh menit!’. Ah, semoga tidak tertinggal. Teman saya ngebut. Jalanan lumayan krodit. Hm, gagal naik kereta ini!, batin saya galau terjebak di lampu merah. Teman saya bilang, kadang-kadang kereta dari arah Malang telat masuk stasiun. Ah, semoga saja. Tapi begitu sampai stasiun, ternyata kereta sudah di sana! Saya terperangah melihat antrian penumpang yang beli tiket kereta. Wah, rasa-rasanya bisa tertinggal kalau harus ngantri sebanyak itu. Teman saya menantang, ‘berani gak naik kereta tanpa karcis?’. Nyali saya ciut. Maklum, saya tidak berpengalaman. Ditambah lagi, pernah ada teman saya yang bilang kalau tidak ada karcis, penumpang dipaksa turun di stasiun pemberhentian saat itu. Wah, bisa berabe nanti! Peluit petugas terdengar nyaring. Kereta mau berangkat. Saya bingung. Antara takut dan nekat mau naik kereta tanpa tiket. Segera teman saya mendesak, ‘bisa jadi ini petualangan!’. Waktu mepet, keputusan di ambil. Saya nekat. Teman saya malah tersenyum sambil memberi jempol. 
Saya berlari melewati petugas peron (yang anehnya saya tidak ditarik karcis peron, mungkin tahu kereta mulai melaju dan saya tergopoh-gopoh). Lalu, saya meloncat ke salah satu gerbong yang mulai berjalan. Hup! Saya berhasil. Rasanya lega sudah berada di dalam gerbong. Saatnya mencari tempat duduk. Begitu dapat malah tidak tenang. Masalahnya, petugas karcis mulai terlihat berseliweran tapi belum mulai memeriksa tiket. Ah, saat kepepet seperti ini banyak merapal do’a. Semoga lolos melewati kondekturnya. Dan memang benar, kondektur tidak memeriksa tiket penumpang (yang ternyata baru jelang sampai Surabaya baru tiket penumpang diperiksa)! Sampai kereta berhenti di stasiun Kertosono untuk ganti kepala gerbong, saat itu saya meloncat keluar ke stasiun, apa coba? Membeli tiket! Hehe. Hati saya tidak akan tenang sampai saya dapat tiket penumpang. Dan akhirnya, hati terasa sangat plong begitu tiket sudah di tangan! Yeah!
Tapi ada kejadian konyol yang akhirnya saya turun dari gerbong dengan suka rela. Saat itu libur 17 Agustus. Saya bingung. Di kos tidak ada teman-teman. Mereka keluar kota. Saya sendirian. Saya kesepian. Kebetulan di bioskop-bioskop Surabaya lagi diputar film Dark Knight Rises. Saya kepingin nonton! Tapi besok harus kembali. Malah saya bingung 2 kali. Antara bimbang, saya memutuskan ke Surabaya naik kereta. Hati masih ragu hingga kereta melaju melewati beberapa stasiun. Dan akhirnya, di stasiun berikutnya saya putuskan untuk turun dan kembali ke Kediri naik bus!
***
*moral of the story;
Ternyata di balik kenekatan ada jalan petujuk, keraguan malah membawa saya balik ke kosan!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar